Aceh, informasipublik.co.d Senin, 16 Juni 2025 - 14:40 WIB Sengketa empat pulau yang selama ini menjadi bagian Aceh, kini berpindah ke Sumatera Utara lewat Kemendagri. Gubernur Aceh Muzakir Manaf mengajukan harapan terakhir: intervensi langsung ke Presiden Prabowo Subianto.
Surat Imajiner Gubernur Aceh Mualem untuk Presiden Prabowo: “Pulau Kami, Harga Diri Kami”
Polemik status empat pulau di perairan Aceh kembali mengemuka. Empat pulau — Mangkir Besar, Mangkir Kecil, Lipan, dan Panjang — yang selama ini dikelola Aceh, sejak 2022 secara administratif dialihkan menjadi bagian Sumatera Utara melalui Keputusan Menteri Dalam Negeri (Mendagri) dan dikuatkan lagi pada April 2025.
Belum lama ini, Gubernur Sumatera Utara Bobby Nasution bahkan terbang ke Banda Aceh menemui Gubernur Muzakir Manaf (Mualem). Ia menawarkan pengelolaan bersama atas keempat pulau tersebut. Namun, pertemuan itu berlangsung singkat. Mualem hanya menerima Bobby sebentar, lalu beranjak melakukan kunjungan kerja ke pantai barat Aceh.
Kini, banyak pihak menilai penyelesaian polemik ini tak lagi cukup di level antardaerah maupun kementerian teknis. Konflik administratif yang menyentuh urat nadi harga diri Aceh ini dinilai memerlukan intervensi langsung ke Presiden Prabowo Subianto. Apalagi, Prabowo dan Mualem punya sejarah panjang: dari lawan bersenjata di masa lalu, menjadi sekutu politik sejak 2012 yang lalu.
Berikut surat imajiner yang dapat dikirimkan Gubernur Aceh Mualem kepada Presiden Prabowo ujarnya.
Bapak Presiden yang saya hormati,
H. Prabowo Subianto — sahabat seperjalanan, yang dulu pernah menjadi lawan semasa konflik antara (GAM dan RI) kini menjadi saudara dalam cita-cita besar Republik Indonesia.
Izinkan saya menulis surat terbuka ini. Bukan sekadar sebagai Gubernur Aceh, melainkan sebagai seorang anak bangsa yang pernah berseberangan jalan dengan Bapak, tetapi kini dipertemukan oleh jalan damai dan persatuan dan kesatuan ujar (Mualim)
Barangkali tak banyak pemimpin republik ini yang memahami Aceh sedalam Bapak. Dahulu, kita pernah berdiri di dua sisi berbeda dari sejarah. Saya di hutan-hutan Aceh, memimpin pasukan Gerakan Aceh Merdeka (GAM), memperjuangkan hak-hak rakyat kami. Bapak kala itu berdiri sebagai bagian dari militer Indonesia, menjaga kedaulatan negara ini. Kita pernah berhadapan dalam pertempuran yang getir, di tengah darah dan air mata rakyat Aceh.
Namun sejarah menuntun kita ke jalan yang tak pernah kita bayangkan sebelumnya. Perjanjian damai Helsinki membuka pintu persatuan. Senjata kami letakkan, dendam kami kubur, dan kami memilih berjalan bersama dalam bingkai Negara Kesatuan Republik Indonesia. Jalan itu tidak mudah, tetapi kami berani melangkah, demi anak cucu Aceh yang haus damai adil dan sejahtera.
Sejak 2012, saya menambatkan kepercayaan politik saya kepada Bapak. Ketika banyak pihak mempertanyakan pilihan politik saya itu, saya meneguhkan hati bahwa Bapak dapat dipercaya. Ketika banyak pihak ragu, saya percaya pada keberanian dan ketulusan Bapak. Dalam kemenangan maupun kekalahan, kami berdiri di belakang Bapak—hingga hari ini, ketika Bapak memimpin negeri ini sebagai Presiden Republik Indonesia.
Namun kini, luka lama seakan menganga kembali. Empat pulau kami — Mangkir Besar, Mangkir Kecil, Lipan, dan Panjang — telah dialihkan ke Sumatera Utara melalui Kemendagri 050-145 Tahun 2022 dan dikukuhkan lagi dengan Kemendagri 300.2.2-2138 Tahun 2025.
Bagi sebagian orang, ini mungkin sekadar urusan administratif. Namun bagi kami, orang Aceh, tanah air atau empat pulau adalah kehormatan. Harga diri kami. Keempat pulau itu bagian dari sejarah kami sejak masa Kesultanan Aceh. Sejak 1965, Pemerintah Daerah Istimewa Aceh telah menetapkan pengelolaannya melalui SK No. 125/IA/1965. Bahkan dalam masa damai, kami membangun mushalla, rumah singgah nelayan, hingga patok-patok batas yang sah.
Sejak 2018, kami telah berulang kali mengajukan keberatan resmi kepada pusat. Surat demi surat kami kirimkan. Data kami lengkapi. Namun semua seolah hilang dalam riuh rendah birokrasi.
Bapak Presiden Republik Indonesia.
Saya menulis bukan dalam semangat permusuhan. Tidak. Saya menulis sebagai saudara lama Bapak. Kita pernah bertempur, kini berjalan dalam satu barisan. Saya percaya, dalam hati seorang prajurit seperti Bapak, kehormatan wilayah dan keadilan rakyat adalah sesuatu yang suci.
Izinkan kami memohon:
Bukalah kembali proses verifikasi. Hadirkan kembali dialog yang adil. Kembalikan keempat pulau itu dalam pelukan Aceh — bukan semata demi memperluas wilayah, tetapi demi menegakkan dan mempertahankan hak tanah keadilan sejarah dan menjaga kehormatan rakyat kami yang telah setia menjaga perdamaian dahulunya.
Bapak Presiden.
Aceh tidak meminta lebih dari yang seharusnya. Kami hanya ingin agar luka yang telah kita jahit bersama tidak kembali robek oleh ketidakadilan yang bisa kita cegah. Sebab saya percaya, seperti halnya prajurit memegang sumpah setianya, Bapak akan menjaga keutuhan rasa keadilan negeri ini.
Semoga Allah SWT senantiasa memberi kekuatan kepada Bapak dalam memimpin negeri besar ini dengan kebijaksanaan dan keadilan.
Himbauan dari media insan pers informasi publik (RS) mengenai empat pulau Aceh lepas dari Aceh ujian atau cobaan dari komitmen moU Helsinki dan tidak kongkrit atau tidak ada ke komitmen pengesahan tersebut, mudah mudahan empat pulau yang direbut sumut kembali ke Aceh karena itu Hak Aceh bukan Hak sumut, satu inspirasi atau motivasi mempertahankan Hak itu wajib, jangan bangunkan lion lagi tidur camkan..?
Hormat saya,
Muzakir Manaf (Mualem)
Jurnalis (Rabudin saleh)
Social Header