Mengenang situasi yang lalu. Setelah Aceh berdamai dari perang yang digencarkan di Bumi Serambi Mekkah, tepat pada 15 Agustus 2005 di Helsinki, Finlandia, Aceh dan Republik Indonesia menyepakati perdamaian. Damai ini hadir bersamaan dengan kehadiran tsunami yang meluluhlantakkan sebagian besar wilayah Aceh. Masa lalu itu berdarah dan penuh luka telah menjadi catatan paling kelam dalam sejarah Nusa dan bangsa.
Hampir dua dekade berlalu, masyarakat Aceh terus mencoba melupakan luka-luka tersebut. Namun kini, polemik baru kembali mencuat, mengguncang tubuh Nanggroe Aceh. Keputusan Kementerian Dalam Negeri (Kemendagri) Republik Indonesia yang menetapkan empat pulau di Kecamatan Singkil Utara, Aceh Singkil, sebagai bagian dari wilayah Provinsi Sumatera Utara (Sumut), kembali mengiris hati rakyat Aceh pungkasnya.
Keempat pulau yang dimaksud adalah Pulau Mangkir Kecil (Mangkir Ketek), Pulau Mangkir Besar (Mangkir Gadang), Pulau Lipan, dan Pulau Panjang. Penetapan ini tertuang dalam Keputusan Menteri Dalam Negeri Nomor 050-145 Tahun 2022 tentang Pemberian dan Pemutakhiran Kode, Data Wilayah Administrasi Pemerintahan dan Pulau - pulau.
Keputusan ini bukan sekadar soal batas wilayah administratif, tetapi soal martabat dan sejarah. Aceh telah sangat dewasa dalam menyikapi proses perdamaian dengan Indonesia. Aceh telah menerima banyak hal demi perdamaian itu. Namun, jangan sampai ada pihak yang mencoba mengadu domba Aceh dengan Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI).
Sebagaimana diketahui, dalam Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2006 tentang Pemerintahan Aceh, secara jelas disebutkan bahwa keempat pulau tersebut merupakan bagian dari wilayah Aceh.
Hal ini diperkuat dengan pernyataan mantan Wakil Presiden RI ke-10 dan ke-12, Jusuf Kalla (JK) dalam salah satu media daring, yang secara tegas menyatakan bahwa dasar historis dan hukum menunjukkan bahwa pulau-pulau tersebut adalah milik Aceh jelasnya.
(JK ) menegaskan bahwa batas wilayah Aceh merujuk pada batas administratif per 1 Juli 1956, sebagaimana tercantum dalam Nota Kesepahaman Helsinki (MoU Helsinki) yang ditandatangani antara Pemerintah Indonesia dan Gerakan Aceh Merdeka (GAM).
“Dalam (MoU Helsinki) disebutkan bahwa perbatasan Aceh merujuk pada perbatasan 1 Juli 1956. Apa itu tahun 1956? Pada tahun itu, Presiden Soekarno menetapkan Undang-Undang tentang pemisahan wilayah Aceh dari Sumatera Utara, akibat pemberontakan DI/TII di bawah pimpinan Daud Beureueh. Maka berdirilah Aceh sebagai provinsi sendiri dengan otonomi khusus,” jelas (JK) ungkapnya.
UU Nomor 24 Tahun 1956 menjadi dasar hukum pembentukan Provinsi Daerah Istimewa Aceh, sekaligus memisahkan wilayah tersebut dari Sumatera Utara. Undang-undang ini pula yang dijadikan acuan batas administratif Aceh dalam perjanjian damai Helsinki.
Penjelasan dari mantan Wakil Presiden itu sudah sangat konkret dan menjelaskan duduk perkara dengan terang. Namun mengapa hingga kini polemik ini masih bergulir dan belum mendapat penyelesaian yang adil..?
Masyarakat Aceh telah mengorbankan nyawa, sahabat, dan keluarga demi memperjuangkan martabatnya. Mereka bahkan rela senjata-senjata rakitannya dipatahkan demi menjamin tegaknya perdamaian.
Namun, dengan rasa nasionalisme yang tinggi dan kepercayaan terhadap Negara Kesatuan Republik Indonesia, rakyat Aceh tetap menaruh harapan bahwa pemerintah pusat akan bersikap bijaksana dan adil dalam menyelesaikan persoalan ini.
Seperti diberitakan oleh beberapa media, Presiden Prabowo Subianto disebut akan turun tangan langsung untuk menyelesaikan sengketa empat pulau tersebut. Pernyataan ini disampaikan oleh Wakil Ketua DPR RI, Sufmi Dasco Ahmad, pada Sabtu malam, 14 Juni 2025.
Langkah ini merupakan momentum besar untuk membangun kembali kepercayaan rakyat Aceh serta memperkuat semangat perdamaian yang telah dirintis sejak 2005 masa yang lalu itu.
Atas segala keresahan yang dirasakan, kami, rakyat Aceh, memohon keadilan dari Presiden Republik Indonesia, Bapak Prabowo Subianto, dalam pengambilan keputusan terkait penetapan kepemilikan keempat pulau tersebut. Kami percaya akan kebijaksanaan Bapak Presiden dalam menentukan langkah yang terbaik bagi keutuhan bangsa dan negara (RI).
Sebab keputusan ini tidak hanya soal pulau, tapi tentang martabat, sejarah, dan masa depan perdamaian Aceh. Jangan biarkan rakyat Aceh kembali merasakan luka yang sama seperti masa lalu..?
Himbauan dari media insan pers informasi publik (RS) sangat memperihatinkan masalah 4 pulau tersebut mudah- mudahan pulau yang di obrak abrik mereka itu kembali ke Aceh karena itu hak Aceh, tanah Aceh pulau Aceh, bungong seulanga (NAD) yang kita cintai.
Tags:
#Pak prabowo
#Mendagri
#Muzakir Manaf
#Share on informasi publik.
Jurnalis:
(Rabudin saleh)
Social Header